Tulisan dengan tema tari atau kesenian bidang tari sudah tentu tidak menarik lagi bagi generasi sekarang, kecuali hanya beberapa gelintir yang memang punya bakat dan minat di bidang tari. Khususnya di Blitar kalau boleh dibilang hampir seluruh bidang kesenian makin tergerus dari generasi ke generasi. Perubahan budaya lokal demikian pesat dihempas budaya yang entah darimana datangnya tapi sangat signifikan melumpuhkan adat dan budaya termasuk kesenian khususnya bidang tari.
Pelestarian seni tari di suatu daerah sangat tergantung intensitas kepala daerah masing-masing. Walau para penggiat seni sudah mati-matian bergerak, sudah semestinya akan mentok pada kebijakan-kebijakan pemerintah daerahnya. Karena itulah tidak semua daerah mampu bertahan dan melestarikan seni dan budaya lokal.
Bila melihat peninggalan-peninggalan sejarah di tlatah Blitar, setidaknya sudah bisa menjelaskan bahwa Blitar merupakan daerah yang tidak kalah penting perannya pada masa kerajaan-kerajaan masa silam. Pada masa Kerajaan Singasari, wilayah Blitar juga menjadi saksi dengan bukti ada beberapa candi yang menjelaskan sebuah cerita yang erat kaitannya dengan Raja-raja Singasari.
Kembali pada soal tari. Di Blitar pada dewasa ini nampaknya memang sudah banyak kehilangan tokoh-tokoh seni. Sehingga hampir tidak ada lagi tokoh panutan atau minimal motor penggerak bidang kesenian. Wajar apabila kemudian generasi berikutnya tidak tahu harus mengapa dan harus bagaimana menindaklanjutinya. Karena kesenian cenderung mengarah pada hal-hal yang negative atau memiliki persepsi buruk bagi sebagian besar pemeluk agama tertentu, sehingga untuk menampilkan kesenian tidak jarang harus dimodifikasi agar seirama dengan tatacara beribadah agama tersebut.
Sungguh situasi yang sangat memprihatinkan bagi pelestarian seni dan budaya masyarakat Blitar. Bahkan bila boleh dibilang kesenian apapun di Blitar sudah dalam belenggu agama tertentu. Sedikit sekali yang mampu membedakan apa itu seni dan apa itu agama, sehingga makin kesini kesenian di Blitar menjadi “hidup enggan mati sayang”. Artinya, gak boleh mati tapi harus bisa hidup sesuai kaidah agama tertentu.
Sementara seni tari, secara umum akan membentuk jiwa-jiwa anak manusia lebih halus, baik dalam perasaan maupun perkataan dan perbuatan. Karena para penari umumnya terbiasa latihan menggunakan rasa untuk menggerakan tubuh agar sesuai dengan irama musik pengiringnya. Ketika rasa sudah terasah maka akan merembet ke bidang lain dalam hidup bermasyarakat nantinya. Namun seidkit sekali yang mau memahaminya.
Di Kota Blitar setidaknya masih ada beberapa sanggar seni, yang terus mencoba bertahan, terus berusaha tegak berjalan, walau banyak sandungan. Mereka adalah para pelaku seni yang sudah mampu mengenali perjalanan spiritualnya dalam mengelola jiwa-jiwa seni yang mengalir dalam darah nadinya. Sehingga tidak jarang disebut “ora waras”. Namun dalam ketidakwarasan itulah mereka justru mampu memberikan yang terbaik untuk Kota Blitar sehingga menjadi kota yang tidak kalah indah dengan lainnya.
Blitar masih perlu banyak orang-orang yang gak waras alias edan. Agar yang merasa waras menjadi tahu diri, apa yang telah dan akan diberika pada kota ini bila yang gak waras selalu menjadi yang pertama dalam memajukan Blitar. Logikanya, yang merasa waras kudune luwih “edan” dalam memajukan Blitar di segala bidang.
Foto: Sanggar Patrialoka