Posted inTokoh

Wiweko Soepono

Spread the love

Wiweko Soepono lahir di Blitar, Jawa Timur, 18 Januari 1923. Beliau dikenal sebagai perintis industri dunia penerbangan Indonesia bersama-sama dengan R.J. Salatun dan Nurtanio Pringgoadisuryo yang dikenal sebagai tiga serangkai. Selain dikenal sebagai bapak aeromodelling, wiweko juga dikenal sebagai seorang pejuang bangsa.

Prestasi dan hasil karyanya
Wiweko pernah membuat sejumlah rancangan model pesawat yang ia buat ketika masih duduk di sekolah menengah (1936-1941). Serta merancang pesawat eksperimental RI-X pesawat ringan ia rancang dan terbang pertama kali 27 Oktober 1948 yang dikenal dengan nama pesawat WEL (Wiweko Eksperimental Lightplane/Pesawat ringan ekseperimental Wiweko). Pesawat kursi tunggal RI-X dibuat Wiweko saat berusia 25 tahun pada tahun 1948, ditenagai mesin sepeda motor bekas Harley Davidson 750 cc. Replikanya mengisi Museum Satrya Mandala, Jakarta.
Duo Nurtanio-Wiweko akhir tahun 1946/awal tahun 1947 berhasil membuat pesawat luncur NWG-1 (Nurtanio-Wiweko Glider) jenis “Zogling” yang berjasa dalam seleksi calon siswa penerbang yang kemudian dididik di India. Sampai zaman globalisasi dan internet sekarang, pesawat terbang layang tersebut belum ada tandingan dalam segi keistimewaannya 100 persen dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di dalam negeri.
Biro Rencana dan Konstruksi AURI yang dipimpinnya, berhasil pula memodifikasi pembom Guntei peninggalan Jepang, menjadi pesawat angkut dalam upaya untuk mempersiapkan bila sewaktu-waktu didirikan penerbangan niaga atau penerbangan komersial yang kita kenal sekarang. Image Wiweko tercatat sebagai perancang helikopter kepresidenan tahun 1951. Karena itu pula, saat itu Presiden Sukarno menjadi presiden pertama di dunia yang memiliki helikopter.

Merancang kokpit pesawat Airbus A 300
Dalam mengisi kegemarannya dengan pesawat terbang, sepulangnya dari belajar di Amerika memperdalam ilmu ekonomi di Berkeley University, California, Wiweko pernah terbang crop dusting menyemprot tembakau di perkebunan PPN di sekitar Medan. Kemudian pernah memimpin unit penerbangan Bank Indonesia untuk mengantar uang ke cabang-cabang BI di seluruh Indonesia, karena selalu tidak terangkut oleh pesawat Garuda Indonesian Airways. Bank Indonesia kemudian menugaskan Wiweko menjajagi pembelian pesawat Beechcraft Super H-18. Wiweko Soepono menerbangkan sendiri pesawat tersebut dari Wichita ke Jakarta. Pengalamannya menerbangkan pesawat mesin ganda baling-baling Beechcraft Super H-18 Desember 1965 trans-Pasifik seorang diri dari pabrik Beechcraft di Wichita (Kansas) via Oakland, Amerika Serikat (7 Desember) ke Jakarta sehingga Wiweko mengusulkan agar pesawat Super H-18 mempergunakan sistem intergrity untuk one pilot operation dan diterima oleh perusahaan Beechcraft.

Dengan prestasi ini patut dicatat dalam buku rekor bahwa Wiweko sebagai orang Asia pertama yang terbang terbang seorang diri melintasi Samudera Pasifik dari Auckland Amerika ke Jakarta menggunakan pesawat Beechcraft Super H-18 pada tahun 1966. Dalam penerbangan itu, Wiweko terbang selama 60 jam dengan mengisi bahan bakar di Honolulu, Wake Island, Guam, dan Manila.

Pengalaman inilah yang membuat dirinya bersama staf Airbus Industrie, eksekutif perusahaan Roger Beteille, pilot uji Pierre Baud, serta staf lainnya membuat konsep penerbangan dengan dua awak pesawat. Konsep ini dibuat setelah uji coba dengan pesawat Airbus A-300 B-4 memperlihatkan peran flight engineer yang tidak terlalu banyak. Dengan mengeliminir flight engineer dan mengubah setting layout cockpit pesawat, maka diperoleh konsep FFCC (Forward Facing Crew Cockpit) yang memungkinkan pesawat kelas jumbo hanya diterbangkan oleh dua awak pesawat. Konsep FFCC sangat ditentang pada saat itu, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dunia penerbangan dibuatnya gempar penuh dengan suara pro dan kontra atas kejutan yang dibuat oleh Garuda Indonesian Airways dan Airbus Industrie. Nadanya banyak yang menentang, termasuk di Indonesia. “Mungkin karena FFCC lahir dari pemikiran seorang Wiweko, sehingga pesawat besar yang hanya dikemudikan dua orang akan sangat membahayakan penumpang, Media massa Indonesia ikut pula latah: “Jangan nyawa penumpang dijadikan kelinci percobaan!”.
Reaksi yang paling keras datang dari persatuan pilot Belanda. Asosiasi tersebut mengajak para rekan penerbang negara tetangganya untuk mengikuti jejaknya. Sebuah harian di Hilversum tanggal 6 September 1979 menurunkan berita dengan kops besar-besar mengecam two-man cockpit yang diprakarsai Garuda. Begitu gencarnya kecaman terhadap awal kehadiran pesawat badan lebar two-man cockpit ketika itu, tapi dengan melajunya teknologi serta perkembangan pesat dunia, tidak saja pesawat badan lebar Boeing yang semula menentang akhirnya menggunakan teknologi ini pada pesawat B-747 400 dan B-777. Nama glass cockpit juga dikenal sebagai Garuda cockpit yang sebelumnya dinamakan Wiweko cockpit.
Namun yang mengejutkan adalah ketika Wiweko Soepono menolak dengan halus kedudukan di Airbus Industrie yang ditawarkan Roger Beteille, Executive Vice President/General Manager Airbus. “Terima kasih penghargaan yang diberikan, tapi saya orang Indonesia, ingin mengabdikan diri sepenuhnya bagi bangsa Indonesia,” ucapnya menolak dengan halus tawaran yang disodorkan kepadanya.

Perananan di dunia penerbangan nasonal.
Pada masa Revolusi Indonesia (1945-1949), Wiweko pernah ditugasi Presiden Soekarno untuk membeli pesawat DC-3 Dakota untuk kepentingan perjuangan Republik Indonesia dari sumbangan masyarakat Aceh. Tidak hanya zaman sekarang, tapi sejak dini zaman perjuangan korupsi sudah terjadi. Wiweko hanya menerima setengah dari dana sumbangan pembelian pesawat Dakota. Jumlah dana yang diterimanya 60.000 straits dollar, Padahal seharusnya yang diterima adalah sebesar 120.000 straits dollar, sesuai dengan tanda terima uang wesel. Tapi kenyataan setelah wesel tersebut diuangkan, Wiweko tidak menerima jumlah tersebut. Meski jumlahnya sudah disunat, DC-3 Dakota berhasil ia peroleh di Siam (Thailand sekarang) menjelang akhir tahun 1948. Pesawat yang dinamakan RI 001 Seulawah itu sedianya dibawa ke Indonesia, namun diurungkan karena ada blokade dari pihak Belanda, maka dijadikan modal usaha penerbangan Indonesian Airways yang beroperasi di Birma (kini Myanmar) pada tanggal 29 Januari 1949. Saat itu Birma membutuhkan jasa angkutan udara baik untuk kepentingan sipil maupun militer menghadapi kaum separatis. Dari sebuah Dakota, ia berhasil mengadakan dua C-47 (DC-3 versi militer) tambahan, salah satu RI-007 kemudian disumbangkan kepada pemerintah Burma 31 Oktober 1950 sebagai rasa terima kasih pemerintah RI selama Indonesian Airways beroperasi di Myanmar.
Sejarah juga mencatat, Bersama awak pesawat DC-3 Dakota RI-001 “Seulawah” (pesawat hasil sumbagan rakyat Aceh) Indonesian Airways, Wiweko berhasil dua kali menembus blokade udara Belanda, menyelundupkan senjata, peralatan komunikasi dan obat-obatan dari Myanmar ke Pangkalan Udara Lhok Nga dan Pangkalan Udara Blang Bintang, Aceh.
Kegiatannya di Myanmar meletakkan landasan dasar penerbangan niaga yang kita kenal sekarang. Tanggal pendirian tersebut di kemudian hari dijadikan hari jadi Garuda Indonesia. Visi Wiweko menjadi kenyataan ia mendirikan maskapai penerbangan Indonesian Airways, membuka lembar pertama era penerbangan sipil/niaga Indonesia. Wiweko pun tidak pernah mimpi bakal memimpin Garuda Indonesian Airways (1968-1984). Berangkat dari pengalaman mengelola maskapai penerbangan di Myanmar dimana laporan keuangan rapi dibuatnya sehingga mampu mengadakan dua pesawat tambahan, secara teratur BUMN Garuda Indonesian Airways di bawah kepemimpinannya menerbitkan buku Annual Report yang memuat posisi keuangan, rencana pengembangan perusahaan, dan informasi lain yang dapat dipergunakan menganalisa kondisi perusahaan secara menyeluruh.
Empat tahun setelah pegang kendali Garuda, Wiweko berusia 45 tahun saat diangkat Presiden Soeharto, berhasil membawa flag carrier Indonesia memasuki pasar modal internasional Garuda mendapat pinjaman komersial oleh sebuah konsorsium bank yang dipimpin oleh The Chase Manhattan Bank untuk pembelian sebuah pesawat Douglas DC-9.
Pinjaman ini sejak awal hingg akhir ditangani langsung oleh Garuda sendiri, tanpa jaminan pemerintah. Sebagai jaminan atas jaminan tersebut adalah pesawat terbang yang dibelinya. Pesawat tersebut dibeli pada tahun 1972, yakni tahun kebangkitan Garuda Indonesian Airways di bawah kepemimpinan Wiweko Soepono. Pesawat kemudian diberi nama “Serayu” oleh Wiweko, sebuah sungai yang mengalir di sepanjang Banyumas.
Dari sebuah DC-9 kemudian dengan cara menghimpun pendapatan demi pendapatan untuk memperkuat keuangan perusahaan, Manajemen dilakukan secara ketat terutama di sektor sektor keuangan yang rawan terjadi kebocoran sehingga sewaktu ia dilengserkan Presiden Soeharto pada tahun 1984, di Chase Manhattan Bank, Garuda memiliki 108 juta dollar AS dalam bentuk tunai diluar dana taktis 4 juta dollar serta armada yang terdiri dari 79 pesawat dalam kondisi baik diantaranya terdiri atas 24 Douglas DC-9, 36 Fokker F-28 menjadikan Garuda operator terbesar F-28 dunia, empat jumbojet Boeing 747-200 dan enam pesawat badan lebar Douglas DC-10 serta sembilan Airbus A300-B4 sehingga membuat maskapai Garuda Indonesia terbesar di Asia setelah Japan Air Lines milik Jepang.

Bintang Jasa Utama untuk Wiweko Soepono
Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Jasa Utama, salah satu bintang tertinggi negara kepada Wiweko Soepono yang dinilai telah memberi sumbangan besar terhadap perkembangan dunia dirgantara Indonesia, khususnya pada flag carrier Garuda Indonesia. Penganugerahan bintang jasa tersebut diberikan dalam peringatan tahun emas 50 tahun Garuda Indonesia, 26 Januari 1995 dalam acara yang berlangsung di Garuda Maintenance Facility (GMF) Bandara Soekarno-Hatta. GMF adalah salah satu fasilitas Garuda Indonesian Airways (kini Garuda Indonesia) yang dirintis pembangunannya oleh Wiweko Soepono. Fasilitas lainnya adalah pusat boga (catering), pusat pelatihan Duri Kosambi dan dua hotel berbintang di Bali.
Wiweko Soepono meninggal dunia di Rumah Sakit St Carolus pada 8 September 2000 pukul 11.30, setelah dirawat beberapa waktu akibat menderita sakit prostat. Setelah disemayamkan di rumah duka Jalan Cianjur 24, Menteng, pukul 17.00, jenazah dikebumikan di Pemakaman Umum Jeruk Purut, Cipete, Jakarta di sebelah makam istrinya, Siti Aminah Mieke Wiweko, yang meninggal dua tahun sebelumnya.

Kunci sukses dan Pesan Wiweko
Wataknya yang keras dan suka melawan arus, tercermin dalam menghadapi keluarga Soeharto. Penguasa Orde Baru tersebut sering membuat banyak orang ketakutan. Tidak demikian dengan Wiweko. Pada saat menjadi Dirut Garuda, ia pernah menolak mentah-mentah anak-anak Soeharto yang datang menawarkan jasa asuransi. Bukan hanya menolak, ia malah menasehati anak-anak Soeharto agar belajar dulu mengenai perasuransian.
“People call him stubborn, proud, and aloof, an autocrat who runs the national airline as his personal fiefdom,” tulis Purra. Memang dengan berpanampilan cenderung arrogant, Wiweko mengundang pertanyaan apakah keberhasilannya mengelola Garuda yang tidak segan menentang arus, karena latar belakang berpendidikan Barat di masa remajanya?
“Kenyataannya memang orang Barat lebih mudah mengenal watak dan kepribadiannya daripada orang Indonesia,” Salman Hardani pernah menjelaskan. Mengenai ini, Wiweko menyangkal keras prasangka tersebut ia menguraikan bahwa pendidikan Barat yang sempat dienyamnya, hanyalah sekadar sarana mempertajam berfikir, sebagai pelengkap.
“Saya diasuh dalam lingkungan keluarga Jawa yang menempatkan nilai moral di atas kebendaan. Semenjak kecil saya telah diakrabkan dengan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. Rasa ini masih teguh karena ditempa oleh perjuangan kemerdekaan di tahun 1945. Inilah yang membentuk watak dan kepribadian saya,” ujar Wiweko (yang lahir 18 Januari 1923 di Blitar).
Wiweko mereda kemudian membeberkan kunci suksesnya memimpin Garuda Indonesian Airways. “Kuncinya adalah daya pemupukan modal,” Menurut pendapat Wiweko Soepono, perusahaan model yang diperlukan negara berkembang seperti Indonesia adalah perusahaan yang selalu berusaha meningkatkan daya pemumpukan modalnya.
“Dalam perusahaan semacam itu, diperlukan adanya sikap keprihatinan yang wajar dan semangat perjuangan, sekalipun tidak perlu ekstrim atau berlebih-lebihan dalam austerity akan sikap hematnya. ‘Yang penting adalah kebutuhan-kebutuhan dasar terpenuhi secara wajar. Jangan dulu dipentingkan wants atau keinginan-keinginan ekstra’ tegas Wiweko.
“Karena menurut visinya, sikap yang terlalu mementingkan wants itu, pada akhirnya dapat merongrong atau bahkan mengerosi modal dasarnya sendiri. Diibaratkan misalnya, jika masyarakat hanya menikmati hidup dengan tingkat konsumsi tinggi seperti di luar negeri dengan dibiayai dana minyak dan melupakan pemupukan modal, maka pada akhirnya modal dasar itu akan habis. Lalu kita mau ke mana, tanya Wiweko.”
Mungkin hanya suatu kebetulan (co-incidence) saja, dengan perginya Wiweko Soepono, pesawat two-man cockpit Airbus A300-B4 juga “menghilang” dari armada Garuda Indonesia dijual. Apakah tidak sebaiknya, salah satu diantaranya dipertahankan, dijadikan museum terbang sebagai pesawat badan lebar pertama dunia diawaki oleh dua pilot guna mengenang pengagasnya, Wiweko Soepono, putra Jawa Timur yang lahir di Blitar di tempat yang sama Anthony Fokker, pembuat pesawat Fokker dan Bung Karno lahir.

sumber: Wikipedia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *